Pages

Kamis, 29 November 2012

Resensi Sepatu Dahlan : Sepatu Yang Menginspirasi

Judul                   : Sepatu Dahlan 
Penulis                 : Khrisna Pabichara
Penerbit               : Noura Books (P.T Mizan Publika), Cetakan I, Mei 2012
Tebal                   : 369  halaman
Harga                  : Rp62.000,00

http://bugot.files.wordpress.com/2012/07/sepatu-dahlan.jpg?w=199&h=300Karir Khrisna Pabichara sebagai penulis telah banyak melahirkan kumpulan cerita pendek, mengawini ibu: Senarai kisah yang menggetarkan (Kayla pustaka, 2010). Dan novel sepatu dahlan adalah buku ke-14 yang dianggitnya. Selain menulis Khrisna Pabichara juga bekerja sebagai penyunting lepas dan aktif dalam berbagai kegiatan literasi. Dia bisa disapa dan diajak berbincang berbagai hal, terutama pernak-pernik #bahasaindonesia, lewat akun twitter-nya: @1bichara.Membicarakan sosok Dahlan Iskan, maka kita akan teringat aksinya yang cenderung kontroversial, seperti membongkar palang jalan tol, naik ojek untuk rapat menteri, lebih sering memakai sepatu kets daripada pantofel mengkilat ataupun menolak kendaraan menteri yang menjadi fasilitas, memang menjadi daya tarik bagi Bapak DIS panggilan akrabnya di tengah-tengah pejabat kita yang sepertinya makin rakus dengan harta benda, hingga gaji yang disediakan sudah besar, tetap saja terasa kurang.
Hal-hal unik dari Pak Dahlan inilah, yang mungkin menarik seorang Krisna Pabichara untuk membuat sebuah “karya” khusus yang didekasikan untuk Pak Dahlan. Sangat jarang, saya kira, tokoh Indonesia dibuatkan novel, tidak termasuk biografi, hingga pasti “Sepatu Dahlan” adalah sebuah gagasan baru, berlatar belakang kekontroversialan Pak Dahlan di masyarakat. “Sepatu Dahlan” sendiri adalah rangkaian dari novel trilogi.

“Sepatu Dahlan” diawali dengan prolog bertitelkan 18 jam kematian. Tokoh cerita, Pak Yu Shi Gan, dilafalkan I se Kan akan menjalani operasi ganti liver di sebuah rumah sakit di China. Operasi ini bisa saja berhasil, dan bisa juga gagal, hingga doa-doa kesembuhan pun banyak dikirimkan untuk Pak Yu. Tetapi, ternyata doa,dari dirinya cukup: Tuhan, terserah Engkau sajalah! Ketika dibius sebagai tahap awal operasi, alur pun berubah, ke masa lalu Pak Yu di Kebon Dalem.
Pak Yu, nama kecilnya Dahlan, hidup di sebuah kampung kecil yang bernama Kebon Dalem. Memiliki seorang Ibu yang rajin membatik, Bapak yang tegas dan pendiam , adik yang bernama Zain, dan dua orang kakak, Mbak Atun yang sudah bekerja dan Mbak Sofwati yang masih kuliah. Keluarga Dahlan bukanlah keluarga kaya, malah cenderung sangat miskin, sehingga Dahlan kecil sangat bercita-cita memiliki sepeda dan sepatu, terutama sepatu, dua hal yang mustahil rasanya untuk dimiliki.
Konflik dimulai, ketika Dahlan kecil, tamat SR ingin melanjutkan sekolah ke SMP Magetan, sekolah favorit bagi anak-anak Kebon Dalem. Hal ini ditolak Bapak mentah-mentah, yang bersikeras jika Dahlan tetap ingin sekolah, maka pilihan satu-satunya adalah Tsanawiyah Takeran. Bukan tanpa alasan, Pesantren Takeran memang menjadi sejarah untuk Bapak yang diasuh oleh Kyai Mursyid, dan Ibu yang memiliki banyak keluarga di Pesantren Takeran, hingga keduanya pun dijodohkan berkat di Pesantren tersebut. Kedua kakak Dahlan pun sekolah di sini. Dahlan kecil dilema, antara niat hati ingin ke Magetan, di sisi lain harus taat dengan orangtua. Akhirnya, Dahlan melanjutkan sekolah ke Pesantren Magetan, walaupun sempat ingin membohongi ayahnya agar ia bersekolah di SMP Magetan.
Jarak Kebon Dalem dan Pesantren Takeran adalah enam kilometer. Bukan jarak yang pendek, apalagi tanpa sepeda dan sepatu. Bisa dibayangkan, kaki Dahlan menjadi lecet-lecet, belum lagi sepulang sekolah tetap harus nyabit, ngangon domba-domba miliknya.
Walaupun Dahlan sempat tak berniat sekolah di Pesantren Takeran, hal ini dihapuskan ketika mendengar sambutan Kyai Ilham, Dahlan kecil pun sadar dia harus bersungguh-sungguh sekolah. Di Pesantren Takeran, Dahlan menjadi kapten tim voli, kemudian menjadi pengurus Ikatan Santri, serta mendapat peringkat terbaik semasa nyantri di sini. Dahlan juga memiliki sahabat di kala suka maupun duka yaitu Arif, Kadir, Imran, Komariyah dan Maryati.
Yang asyik di novel ini entah benar-benar terjadi bagi pak Dahlan Iskan atau tidak, Dahlan kecil jatuh cinta dengan Aisha, gadis berambut panjang anak seorang Mandor. Saking pemalunya Dahlan, sampai lulus Aliyah pun, tak pernah dia mengutarakan perasaannya.
Dalam Novel Sepatu Dahlan ini banyak terdapat pesan-pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang dapat membantu kita dalam menjalani kehidupan.Novel ini juga bukan hanya cerita tentang  Dahlan yang memimpikan punya sepatu dan sepeda, lebih dari itu. Cerita dalam novel ini sangat banyak menginspirasi dan cocok dibaca mulai dari ABG sampai orangtua. Cara pandang hidup yang sangat bijaksana serta cara mendidik anak yang tepat bisa diambil dari kisah ini.
Dari novel ini juga bisa diambil Sebuah pelajaran berharga bagi semua orang. Tentang mimpi, kesabaran, ketekunan, dan ketabahan dalam menghadapi berbagai rintangan hidup ini.                                                                                       
Novel Sepatu Dahlan ini menggunakan kertas yang berwarna sedikit kuning atau seperti kertas buram sehingga bagi orang yang sudah tua mungkin agak sulit membacanya. Sedangkan untuk penulisannya, saya agak kurang nyaman dengan gaya penceritaannya.Kadang-kadang bahasanya terlalu berbunga-bunga (Sulit Untuk dimengerti) dan di beberapa tempat ada pengulangan kata (misalnya,tentang Komariyah yg jd satu-satunya bocah perempuan yang ikut ngangon). Juga tentang jeda sangat panjang antara Bab 29 saat Dahlan akhirnya berhasil membeli sepatu (kelas 3 Tsanawiyah) dengan Bab 30 yang berisi tentang kelulusan dari Aliyah dan kelanjutannya. Terasa sedikit dipaksakan untuk cepat tamat
Yang paling mengesalkan dari novel ini, ketika mendekati ending cerita, Aisha mengutarakan perasaannya lewat surat dan Dahlan pun membalasnya dengan janji bertemu di Stasiun Madiun.Dan ketika saya membalik lembar berikutnya, ternyata sudah epilog. 

By Aldy ^_^

0 komentar:

Posting Komentar